16 April 2008

Tety Suryati, Guru yang Akrab dengan Sampah

Kecintaan Teti Suryati pada tanaman dan lingkungan mendorongnya gencar menyosialisasikan pengolahan sampah menjadi kompos. Awalnya, guru Biologi SMAN 12 Jakarta ini sekadar membagi ilmu dengan sesama guru di Jakarta, lalu meluas sampai di berbagai wilayah di Tanah Air.
Keengganan warga mengolah sampah rumah tangga dijawab Teti dengan menciptakan alat pembuat kompos atau komposter sederhana. Komposter buatan Teti berbahan kaleng bekas cat berukuran 25 kilogram, yang diberi alat pemutar pada bagian samping atau tutup kaleng.
Semua ini berawal saat Teti terpilih sebagai kader kebersihan oleh Dinas Kebersihan DKI Jakarta, enam tahun lalu. Sebagai kader, dia mendapat banyak informasi tentang pengolahan sampah menjadi kompos.
Pengetahuan itu tak dibiarkannya begitu saja. Tetapi dia mengembangkannya dengan menciptakan komposter. Untuk memenuhi selera masyarakat, Teti telah mengembangkan 13 tipe komposter dengan bahan baku kaleng dengan alat pemutar. Tahun lalu, dia mengembangkan komposter gantung yang dibuat dari tempayan air, untuk mengajari warga membuat kompos cair.
”Setiap kali saya ceramah soal pengolahan sampah rumah tangga, warga malah bertanya ’ngapain susah-susah ngurus sampah?’ Mereka merasa sudah membayar retribusi kebersihan, jadi enggak perlu pusing mikirin sampah,” cerita Teti.
Ketika ia meminta warga belajar bikin kompos, ”Sebagian warga menjawab, untuk apa? Beli saja, kompos kan harganya murah, cuma Rp 1.000 per kilogram,” ujarnya.
Sikap apatis warga yang dia datangi lewat kelompok arisan, pengajian, PKK, warga perumahan, guru, maupun karyawan itu tetap tak menyurutkan semangat Teti untuk berbagi dan mengubah paradigma berpikir masyarakat soal sampah. Keluhan itu justru membuat dia kreatif dengan menciptakan komposter untuk mengurangi sampah di rumah.
Umumnya warga kota malas berurusan dengan sampah organik atau basah yang mudah berbau busuk. Mereka enggan membuka tempat pembuangan sampah, lalu mengaduknya agar tak bau dan berbelatung.
”Dari situlah saya terpikir harus membuat alat pengaduk sehingga tempat sampah organik tak harus sering dibuka. Saya lalu ke tukang las, minta kaleng bekas cat itu dilubangi sisi kiri dan kanannya, lalu dipasangi seperti jeruji yang memudahkan pemutaran sampah di dalamnya,” tuturnya.
Komposter ala Teti bahkan bisa disimpan di ruang tamu, tanpa orang sadar bahwa isinya sampah basah. Adapun komposter gantung dari tempayan air cocok dipasang di rumah yang tak punya halaman.

Bersih dan Hijau
Keterlibatan Teti mengajak warga memilah dan mengolah sampah semakin intens ketika suaminya terpilih menjadi Wakil Ketua RW 15, Kampung Bulak, Klender, Jakarta Timur, tahun 2004. Teti, yang saat itu aktif sebagai instruktur pendidikan lingkungan hidup bagi guru-guru DKI Jakarta, merasa harus mendukung tugas suami.
”Ketika itu ada lomba RW bersih dan sehat tingkat kelurahan. Saya ikut terlibat di PKK dan harus menggerakkan semua warga agar berpartisipasi,” kenangnya.
Kondisi lingkungan tempat tinggal yang kumuh dan sempit menginspirasi dia untuk mengajak warga mengubahnya menjadi lingkungan yang bersih dan hijau. Ia minta setiap rumah menanam dua pohon. ”Ini menimbulkan pro-kontra.”
Warga yang umumnya masyarakat menengah-bawah keberatan harus membeli tanaman dan pot. Teti pun menyarankan kaleng bekas sebagai ganti pot.
Selain itu, setiap pukul 16.00, salah satu penghuni rumah harus membersihkan halaman masing-masing. Bagi warga yang tak bersedia, ada denda menyediakan dua pohon di depan rumah.
”Cara itu efektif untuk membangkitkan kesadaran warga. Mereka ikut aktif menciptakan kebersihan lingkungan. Setelah tampak hasilnya, warga jadi gemar bertanam,” kata Teti. Hasilnya? RW 15 ditunjuk sebagai RW percontohan di Jakarta Timur.
Namun, kecintaan warga menanam itu menimbulkan persoalan lain. Mereka sulit menemukan media tanam. Dan Teti lalu memperkenalkan kompos sebagai media tanam.
Pembuatan kompos menuntut warga punya kebiasaan memilah sampah di rumah. Sampah organik warga RW itu dikumpulkan di enam posko, sedangkan sampah nonorganik, seperti kertas, plastik, dan kayu, dijual atau dibuat kerajinan tangan. Petugas kebersihan hanya mengangkut sampah yang sama sekali tak bisa didaur ulang.
Dalam kurun 2004-2006, RW 15 ”hanya” mendapat juara ketiga RW bersih dan sehat tingkat Provinsi DKI Jakarta. Tetapi, kebiasaan mengelola sampah rumah dan mengolahnya menjadi kompos telah menjadi pola hidup warga. Mereka cinta lingkungan bukan karena ada lomba.
Baru pada 2007, RW 15 menjadi juara nasional RW Bersih yang diselenggarakan Kementerian Negara Lingkungan Hidup. Sejak itu, kawasan ini sering didatangi masyarakat dan pejabat yang ingin mengetahui bagaimana warga setempat mengelola sampah rumah tangga.
”Untuk menumbuhkan kesadaran warga, seperti memilah sampah di rumah, tak semudah membalik telapak tangan,” katanya. Padahal, sampah organik mencapai 60 persen dari total sampah rumah tangga.
”Kalau semua orang mau sedikit saja susah, memilah sampah dan mengolahnya, bayangkan, betapa nikmatnya lingkungan hidup ini. Akibat global warming pun bisa diminimalkan,” ujarnya lebih lanjut.

Muatan Lokal
Tahun 2006 Teti menggagas muatan lokal lingkungan hidup sebagai materi pelajaran di sekolah tempatnya mengajar. Pengolahan sampah termasuk salah satu materi yang diajarkan. Ia membuat semacam kurikulum, siswa diajak praktik di rumah dan di sekolah.
Apa yang dia lakukan membuahkan hasil. Sekolah tempatnya mengajar, SMAN 12 Jakarta, terpilih sebagai sekolah berwawasan lingkungan tingkat nasional. Dalam lomba pemanfaatan sampah oleh pelajar yang digelar World Wildlife Fund, SMAN 12 Jakarta meraih juara kedua. Siswa mengolah sampah plastik menjadi aksesori.
Kiprah Teti yang gencar memperkenalkan pengolahan sampah skala rumah tangga dan sekolah ini menarik perhatian berbagai pihak yang peduli lingkungan hidup. Dia semakin sering diminta menjadi pembicara ke berbagai kota, seperti Balikpapan, Pontianak, dan Bandar Lampung. Ia muncul dalam talkshow di radio dan televisi.
Teti semakin sibuk sebagai pembicara soal pengolahan sampah dan pemberdayaan warga untuk menciptakan lingkungan hidup yang bersih dan hijau. Namun, dia tak mengabaikan tugasnya sebagai guru. (Harian Kompas)

Tidak ada komentar: